Dus kemasan | repugraf | Sejarah Fakfak



Hubungan antar Agama Masyarakat Fakfak
Patipi adalah salah satu wilayah di Kabupaten Fakfak, Teluk Patipi, yang merupakan salah satu distrik di Kabupaten Fakfak dengan ibukota Kampung Patipi Pasir. Saat ini Teluk Patipi telah menjadi satu distrik yang dibentuk pada 2 Februari 2004 sesuai dengan Surat Keputusan Bupati Fakfak Nomor 80 Tahun 2004 tentang Pemekaran Distrik Kabupaten Fakfak.
Perayaan hari besar keagamaan seperti hari besar Islam dan Kristen sering dilakukan di Teluk Patipi, Fakfak. Perkampungan yang mayoritas Islam di kawasan itu sering diundang dalam perayaan Natal. Pada saat pelaksanaan malam kudus di salah satu gereja di kampung Degen semua orang yang datang memenuhi undangan bukan saja dari kalangan Kristen, melainkan juga dari masyarakat yang ada di perkampungan Islam.
Kebiasaan hidup saling menghormati dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari mereka sebagaimana hal yang ditunjukkan oleh warga yang berada di perkampungan Kristen yang sangat menghormati saudaranya yang beragama Islam. Hal ini terlihat ketika kunjungan keluarga muslim ke rumah keluarga Kristen dalam pelayanannya disediakan wadah yang khusus untuk menyuguhkan makanan dan minuman. Pengetahuan tentang makanan yang tidak diperbolehkan dalam Islam telah diketahui sehingga mereka menyimpan wadah yang pernah digunakan mengolah makanan yang diharamkan dan menggunakan wadah baru.
Kebiasaan hidup seperti itu terjadi karena Patipi merupakan salah satu wilayah kerajaan/Pertuanan yang ada di daerah Fakfak yang terdiri dari perkampungan yang beragama Islam dan perkampungan Kristen. Saat ini Patipi telah menjadi kecamatan/ distrik Teluk Patipi. Kampung Patipi dan kampung Degen merupakan dua desa/ kampung di wilayah pemerintahan Distrik Teluk Patipi yang beragama Islam dan Kristen. Perbedaan agama di masyarakat menyebabkan mereka saling menghormati, saling menjaga, dan terbangunnya relasi di antara warga.
Kerja sama antarumat beragama juga terlihat ketika pembangunan rumah ibadah dan fasilitas umum lainnya dilakukan secara bergotong-royong yang dilandasi nilai-nilai kebersamaan dan kekeluargaan yang dijunjung tinggi. Sesungguhnya kehidupan harmonis timbul atas dasar kesadaran bersama dan rasa saling menghormati karena masyarakat Fakfak sudah berada dalam kehidupan kekeluargaan yang berbeda-beda keyakinan dan terpelihara sejak nenek moyang. Masyarakat memiliki satu cerita/ mitologi yang menggambarkan pertalian darah yang saling terkait antara orang yang ada di daerah atau perkampungan Kristen dengan perkampungan Islam.
Masyarakat Fakfak terdiri dari dua suku besar, yaitu Iha mewakili masyarakat di bagian gunung/ pedalaman dan Onin yang mewakili masyarakat di daerah pesisir. Hampir sebagian besar masyarakat pesisir menganut Islam, sementara suku Iha sebagian besar menganut Kristen. Masyarakat yang berada di kawasan Teluk Patipi mempunyai hubungan darah pada zaman dahulu dikarenakan ada perkawinan antara laki laki dari Suku Iha dengan perempuan dari Suku Onin.

Sejarah Masuknya Agama-Agama di Fakfak
Masuknya Islam di Papua, khususnya di Teluk Patipi, memiliki keterkaitan dengan masuknya agama Islam di Papua. Menurut H. Ismail Bauw 1997, masuknya Islam di tanah Papua terdiri dari tujuh versi, yaitu versi orang Papua, Aceh, Arab, Jawa, Banda, Bacan, serta versi Tidore dan Ternate. Masing masing dengan argumentasinya yang berbeda-beda. Menurut orang asli Papua Fakfak, yang masih kuat dengan adat dan legendanya, Islam bukan dibawa dan disebarkan oleh Kerajaan Tidore, Arab, Jawa, atau Sulawesi. Akan tetapi, Islam sudah berada di Pulau Papua sejak pulau ini diciptakan oleh Tuhan. Tidak hanya Islam, Kristen pun demikian. Hal ini memang sangat terlihat di masyarakat yang beranggapan bahwa tempat turunnya Nabi Adam berada di salah satu tempat di Papua.
Sebagaimana cerita yang ada di masyarakat Kaimana, Bintuni, dan Fakfak, jejak-jejak Nabi Nuh berada di daerah Gunung Nambi, seperti bahtera Nuh yang diyakini masyarakat berada di Papua. Pandangan masyarakat Fakfak tercermin dari prosesi ibadah karena masyarakat beranggapan bahwa mereka yang menunaikan ibadah haji bukan pergi ke Mekah, melainkan mereka pergi ke gunung nabi yang terletak di belakang Teluk Arguni Kaimana. Selain cerita itu, ada juga sejarah lisan masyarakat yang ada di Teluk Patipi bahwa pada zaman dahulu ada utusan dari Kerajaan Samudra Pasai, Tuan Syekh Iskandar Syah. Dia melakukan perjalanan dakwah ke Papua pada abad XIII, tahun 1224, di Patipi yaitu Mesia/Mes. Orang pertama yang diajarkan Islam adalah Kriskris yang kemudian diangkat menjadi imam dan raja pertama di Kerajaan Patipi. Dengan pengetahuan dan cerita dari masyarakat, masyarakat meyakini bahwa Islam telah ada di Patipi lebih dahulu baru disusul dengan agama Kristen, baik Katolik maupun Protestan. Karena Kerajaan Patipi terletak di Semenanjung Onin dan berbatasan langsung dengan Kerajaan Rumbati, Islam lebih cepat masuk dan diterima oleh warga yang tinggal di pesisir pantai.
Sedangkan sejarah masuknya agama Katolik di Fakfak dikisahkan di dalam naskah panduan acara Napak Tilas 115 tahun baptisan pertama di Sekru pada 14 Februari 2010. Diceritakan bahwa Papua mulai dikenal oleh dunia luar sejak tahun 1511 ketika Antonio d’Abreu dan Francesco Serarrano dari Portugal berlayar ke Papua, tetapi mereka tidak mendarat di sana. Ketika Don Jorge de Menezes, seorang pedagang rempah-rempah berlayar melalui Malaka dan Ambon antara tahun 1526 dan 1527, ia singgah di Papua, yang merupakan nama yang diberikan oleh Sultan Tidore. Pada tahun 1545 seorang dari Spanyol bernama Ynigo Ortiz de Retes mendarat di bagian pantai utara Papua dan melihat penduduknya mirip dengan orang Negro di Guinea Afrika Barat maka Pulau Papua disebutnya dengan Nueva Guinea. Selanjutnya, pada tahun 1826 Nueva Guinea resmi menjadi daerah kekuasaan Belanda dan nama itu resmi diganti dengan Nederland Nueva Guinea pada tahun 1956. Kemudian pada tahun 1963 daerah ini diubah namanya oleh Pemerintah RI menjadi Irian Barat, Irian Jaya, dan berubah lagi menjadi Papua.
Pada tahun 1807 didirikan Prefektur Apostolik Batavia yang dibawa pemerintah Raja Belanda, Lodewijk Napoleon. Papua yang waktu itu bernama Nederland Nueva Guinea menjadi wilayah misi prefektus Apostolik Batavia yang dilayani oleh Diosesan, Jacobus Nelissen. Kedatangan Pastor Cornelis Le cocq Armandville di Fakfak pada tahun 1894 dicatat sebagai awal sejarah gereja Katolik di Papua. Pada 1912 pemerintah Belanda membagi wilayah pelayanan yang dilakukan oleh zending Protestan dan misi Katolik sehingga tidak terjadi tumpang tindih dalam pelayanan. Keputusan gubernur mengenai pemisahan misi dan zending itu membuat para penginjil tidak bisa menyebarkan Katolik dengan baik karena ada pembagian wilayah penyebaran di Papua. Akibatnya, Katolik kurang berkembang. Setelah dihapusnya pemisahan misi dan zending, barulah mereka bebas dalam menyebarkan Katolik di Fakfak, termasuk Teluk Patipi. Pada tahun 1928 pembagian wilayah dipertegas lagi dan zending Protestan membawahi wilayah Holandia (Jayapura) hingga Bintuni.
Teluk Patipi (foto: Adam Iribaram)
Add caption

Teluk Patipi (foto: Adam Iribaram)
Pengaruh kekuasaan Belanda di Pulau Papua pada tahun 1850-an membuka akses masuknya penyebaran agama Kristen di samping agama Islam yang telah ada di Papua. Carl Willem Ottow dan Johan Gottlob Geissler, dua pendeta pertama yang tiba di Pulau Mansinam Papua pada 5 Februari 1855 masuk ke Papua melalui Ternate. Pada awalnya misi protestan yang melaksanakan tugas pelayanan agama adalah Ultrechtsche Zending Vereniging (UZV) kemudian beralih ke Indische Kerk (GPI) di Hindia Belanda dan berganti nama menjadi MPK/ GPM. Gereja Protestan Maluku kemudian berdiri sendiri sebagai gereja mandiri pada 6 September 1935 dan muncul gereja Kristen Maluku yang membuka pusat penyebaran agama Kristen di Merauke. Kemudian mereka menyebarkan agama Kristen hingga di Fakfak.

Filosofi dan Praktik Satu Tungku Tiga Batu
Satu Tungku Tiga Batu berarti “agama keluarga di Fakfak ada tiga, yaitu Islam, Katolik, dan Protestan. Tiga ‘batu’ ini bersatu agar ‘tungku’ tidak timpang.” Di samping itu, pemerintah Fakfak menjadikan Satu Tungku Tiga Batu sebagai salah satu modal utama membangun Fakfak. “Dalam falsafah itu ada unsur-unsur yang disepakati, yaitu sebagai satu saudara harus satu hati. Bila hati sudah bersatu, tak ada kekuatan apapun yang mampu melawannya.”
Masyarakat Teluk Patipi Fakfak sejak dahulu hidup dalam hubungan kekeluargaan yang terbangun dalam bingkai adat dan agama. Dalam realitas kehidupan masyarakat Fakfak, nilai-nilai adat dan agama yang ada menjadi pedoman untuk mengatur kehidupan masyarakat. Mereka menganut tiga agama (Islam, Katolik, dan Kristen Protestan) sehingga bagi mereka agama merupakan sebuah tuntunan ke arah kehidupan dunia yang lebih baik. Agama mampu mengatur kehidupan mereka agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam kehidupan masyarakat Patipi.
Satu Tungku Tiga Batu merupakan tungku masak dengan tiga batu sebagai penyangga untuk memasak. Dengan adanya tiga batu sebagai penyangga inilah diartikan sebagai tiga agama yang mempunyai analogi bahwa masyarakat bekerja sama dalam mencapai tujuan hidup. Tiga batu masing-masing berperan sebagai penyeimbang dalam menahan wadah yang dimasak di atas tungku untuk tujuan hidup bersama. Pelaksanaan Satu Tungku Tiga Batu di Fakfak saat ini tidak terlepas dari pola kehidupan masyarakat plural yang hidup dalam landasan kekeluargaan dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat tradisional. Banyak penelitian tentang kehidupan sosial masyarakat, harmonisasi, dan persaingan hidup terbentuk dari pola kepemimpinan tradisional masyarakat Fakfak, yaitu pertuanan/ raja sehingga semua masyarakat masih menghormati raja dan seluruh unsur adat yang dapat menciptakan kepatuhan di masyarakat.
Hubungan antara masyarakat yang ada di Teluk Patipi dilambangkan dengan hubungan relasi yang tercipta antara kampung, yang dikenal oleh masyarakat dengan istilah lokal, yaitu naret yang merupakan jaringan kerabat, kenalan, yang terjadi antara masyarakat. Naret adalah Jaringan kenalan atau kerabat yang ada di perkampungan lain di Teluk Patipi. Mereka saling menunjang dalam aktivitas kehidupan mereka. Jaringan ini berfungsi sebagai pengikat antara mereka. Hubungan ini terbawa sampai saat ini secara berkelanjutan dalam jangka waktu yang cukup lama. Orang yang punya naret selalu saling menjaga dan saling membantu dalam memenuhi segala kebutuhan sesuai dengan apa yang diperlukan sehingga terjadi hubungan timbal balik atau hubungan resiprositas.
Kekerabatan yang menjadi dasar relasi pada masyarakat di wilayah Teluk Patipi berjalan sesuai dengan adat yang berlaku sejak nenek moyang mereka. Walaupun demikian, jika nilai ini melemah akan timbul perpecahan di masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, ada tokoh-tokoh adat yang menjadi penengah jika hal itu terjadi dengan mendudukan warga yang dianggap berselisih paham dan menceritakan asal usul dan kepemilikan. Dengan demikian, norma adat dapat memberikan jalan keluar untuk menyelesaikan permasalahan dalam masyarakat.
Tokoh masyarakat Fakfak, Bapak Alibaham Temongmere, sebagai orang yang menggagas konsep falsafah hidup dalam bingkai Satu Tungku Tiga Batu mengatakan bahwa banyak orang yang menyebarkan agama Islam di Papua yang hanya merupakan label. Sebelumnya Islam sudah ada di Fakfak. Hal yang paling nyata terlihat pada saat napak tilas masuknya Katolik di Fakfak yang mengungkapkan bahwa yang menerima Pastor Lekoq sebagai orang Katolik Pertama di Papua adalah warga Fakfak yang beragama Islam di daerah Sekru. Kemudian ia dibawa ke saudara-saudara mereka yang pada waktu itu belum beragama untuk menerima Katolik. Di daerah Sakartemen para orang tua yang menerimanya, dengan bahasa yang sangat sederhana, mengatakan, “Ini hal yang baik. Jika demikian, kita berikan kepada Saudara kita yang belum beragama karena kita sudah beragama Islam.” Kenapa hal ini bisa terjadi dikarenakan mereka mempunyai keluarga yang ada di daerah pedalaman Fakfak. Oleh karena itu, sudah sering kita lihat di Fakfak ada satu keluarga, tetapi terdiri dari tiga agama.
Pengetahuan masyarakat mengenai sejarah masuknya agama di Fakfak sebatas pada generasi tua, sedangkan generasi muda kurang memahami. Mereka hanya mengetahui bahwa di Fakfak ada tiga agama yang berkembang. Dari sisi pengetahuan mengenai sejarah masyarakat dan agama di Fakfak hanya para tokoh agama, tokoh adat, serta raja-raja yang memiliki akses pengetahuan karena hal itu merupakan faktor yang dapat membuat orang tersebut dapat diangkat menjadi seorang pemimpin adat. Seorang pemimpin adat dianggap mempunyai pengetahuan yang lebih baik tentang aturan adat dan agama di masyarakat. Hal ini biasanya mereka lakukan di rumah adat dengan mengumpulkan semua tokoh adat dan agama untuk duduk secara bersama-sama sehingga tercipta sikap toleransi karena mereka dengan sangat sadar berpandangan bahwa mereka berbeda agama, tetapi satu nenek moyang yang disatukan dalam satu adat.
Pluralitas agama di Fakfak disatukan dengan pemahaman Satu Tungku Tiga Batu yang lebih didorong ke arah masyarakat yang toleran dalam segala bidang sehingga tidak ada dominasi-dominasi yang menimbulkan kecemburuan yang mengarah kepada perpecahan. Satu Tungku Tiga Batu sebagai semboyan yang menjadi alat kontrol dalam kehidupan beragama untuk saat ini masih kuat. Terlihat bahwa tidak ada pertentangan menyangkut keyakinan pada masyarakat Fakfak dikarenakan mereka berada dalam pluralitas agama sehingga semua agama hidup berdampingan dan harmonis.
Hal itu dapat terjadi karena dalam satu keluarga terdapat tiga agama, misalnya dalam suatu keluarga Iba ada tiga nama; Fredik Iba, Akhmad Iba, dan Milka Iba. Mereka sekeluarga, yaitu adik, kakak, dan ponakan. Hanya yang membedakan mereka adalah agama; Fredik beragama Katolik, Milka Protestan, dan Akhmad Islam. Kondisi seperti ini sangat mempengaruhi kehidupan keluarga mereka. Sudah menjadi sesuatu yang biasa bahwa di dalam satu marga ada tiga agama dan tidak ada pertentangan dalam satu marga. Meskipun agama berbeda, tetap satu keluarga. Kekerabatan yang kental dan saling menjaga. (© Adam Iribaram, Juni 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages